Selasa, 15 September 2009

India punya Kamasutra, kita punya apa?

Pernah denger Kamasutra dong? bukan.. bukan judul albumnya Jupe yang saya maksud, bukan juga club buat clubbing,.. yang saya maksud Kamasutra literatur itu lho...

Di bangsa Romawi dikenal juga ada literatur mengenai seksualitas dengan nama Ars Amatoria

Jika dalam masyarakat Jawa ada kitab seks Serat Centini dan Serat Nitimani, maka di masyarakat Bugis ada manuskrip atau lontara Assikalaibineng.

Assikalaibineng mencatat pengetahuan yang paling rahasia dan paling erotis dalam hubungan sesksual (suami-istri). Kedudukan naskah Assikalaibineng ini menjadi referensi bagi masyarakat luas dalam rangka pembelajaran hal ikhwal hubungan seks dengan segala aspeknya.

Hal ini diungkapkan Muklis Hadrawi, dari Universitas Hasanuddin, pada Seminar Internasional Peranan Bugis dalam Pengembangan Alam Melayu Raya, Selasa (10/6) di Jakarta. "Substansi manuskrib Assikalaibineng menyajikan pengetahuan tentang hubungan seks mulai konsep filosofi seks, pengetahuan alat reproduksi, tahapan atau prosedur hubungan, doa-doa, mantra-mantra, teknik perangsangan, posisi dan gaya persetubuhan, teknik sentuhan, penentuan jenis kelamin anak, pengendalian kehamilan, waktu baik dan buruk dalam pesetubuhan, tata cara pembersihan tubuh, pengobatan kelamin, serta perlakuan-perlakuan seksual lainnya," ungkapnya.

Assikalaibineng yang diperkirakan manuskrip abad XVII, ketika tasawuf Islam telah berkembang di tengah-tengah masyarakat Bugis-Makassar, secara khusus juga mengajarkan aspek-aspek seksualitas sampai pada hakikat atau derajad pemahaman seksual yang paling tinggi, yakni spiritual seks.

Menurut Hadrawi, seks dalam konteks Assikalaibineng tidak sekadar peristiwa biologis belaka, tetapi telah menjadi bagian dari sistem sosial Bugis yang didasari oleh seperangkat nilai agama Islam. Seluruh rangkaian aktivitas seksual dalam teks Assikalaibineng mulai pada tahap cumbu rayu, tahap inti atau senggama, hingga tahap akhir hubungan seks (pembersihan dan perawatan tubuh), memberikan kedudukan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi lakuan seks, sedangkan istri sebagai pihak penerima.

Hadrawi menjelaskan, dengan status seksual laki-laki yang aktif itu, Assikalaibineng mensyaratkan pihak laki-laki harus memiliki pengetahuan yang cukup agar dapat melakukan hubungan seks dengan istrinya secara berkualitas. Di sisi lain, suami disyaratkan untuk bijaksana dalam menjalankan peran seksualitasnya.

Menurut dia, teks Assikalaibineng memaparkan perlakuan fase inti hubungan seks ini misalnya cara menyentuh titik pekan paga vagina empat sisi yaitu kiri, kanan, atas, dan bawah. "Sentuhan terhadap empat dinding tersebut menunjukkan cara dan gaya persetubuhan yang variatif dan seluruh gaya itu dikendalikan oleh pihak laki-laki. Menyentuh empat pintu vagina istri itu menjadi tahap awal sebelum menyentuh daerah terdalam (pintu surga) vagina, yang disebutkan akan memberi puncak kenikmatan seksual terhadap istri," Hadrawi menjelaskan.

Serat Centhini - Pendahuluan
oleh : GranatWP
Pengarang : KGPA Anom Amengkunegara III

Serat Centhini adalah buku kesusastraan Jawa yang aslinya ditulis dalam bahasa dan tulisan Jawa dalam bentuk tembang Macapat
(Note: tembang Macapat adalah sejumlah tembang Jawa dengan irama tertentu, jumlah suku kata tertentu, akhir kata tertentu dalam satu bait tembang dan sangat popular untuk refleksi peristiwa tertentu menggunakan tembang yang pas dengan suasana yang ingin ditimbulkan, sejumlah nama tembang Macapat: Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanti, Asmaradana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Pocung, Megatruh, Jurumedung, Wirangrong, Balabak, Girisa) dan selesai ditulis pada tahun tahun 1814.
Buku aslinya berjudul Serat Suluk Tambangraras dan ditulis berkat prakasa KGPA Anom Amengkunagoro III putera Pakubuwono IV, raja Surakarta (1788 – 1820), yang kemudian menggantikan raja sebagai Pakubuwono V (1820 – 1823). Sedangkan penulisan dan penyusunan dilaksanakan oleh:
1. Ki Ng. Ranggasutrasna, pujangga kerajaan
2. R. Ng. Yasadipura II, pujangga kerajaan
3. R. Ng. Sastradipura, juru tulis kerajaan
4. Pangeran Jungut Manduraja, pejabat kerajaan dari Klaten
5. Kyai Kasan Besari, Ulama Agung dari Panaraga
6. Kyai Mohammad, Ulama Agung kraton Surakarta.
Buku aslinya saat ini masih ada di Sanapustaka di kraton Surakarta. Ada beberapa salinannya di Reksapustaka Mangkunegaran, Paheman Radya-Pustaka Sriwedari, Museum Sana Budaya di Yogyakarta dan Museum Gajah di Jakarta dan mungkin juga di tempat-tempat lain.
Buku ini terdiri dari 12 (duabelas) jilid dengan seluruhnya berjumlah 3500 halaman. Berisi semacam “Ensiklopedia Kebudayaan Jawa” karena berisi hampir semua tata-cara, adat istiadat, legenda, cerita dan ilmu-ilmu lahir bathin yang beredar dikalangan masyarakat Jawa pada periode abad ke 16-17 dan masih banyak yang hidup dan lestari sampai dengan saat ini.
Sumber tulisan saya ini adalah Serat Centhini yang sudah ditranskripsi dari tulisan Jawa menjadi tulisan Latin tapi masih menggunakan bahasa Jawa.Transkripsi ini juga terdiri dari 12 (dua belas) jilid. Transkripsi dari tulisan Jawa menjadi tulisan Latin dilakukan oleh Kamajaya, Ketua Yayasan Centhini, Yogyakarta, diterbitkan oleh Yayasan Centhini, 1991. Referensi juga diambil dari buku Pustaka Centhini – Ichtisar Seluruh Isinya karangan Ki Sumidi Adisasmita, Penerbit UP Indonesia, Yogyakarta, tahun 1975.
Sampai saat ini belum ada terjemahan Serat Centhini ke bahasa Indonesia. Pernah dicoba oleh Yayasan Centini, tapi terhenti hanya sampai jilid 1. Kemungkinan ada kesulitan pembiayaan, mungkin juga faktor waktu dan tingkat kesulitan tersendiri.
Kandungan isi dari Serat Centhini adalah sangat luar biasa yang mencakup banyak sisi dari kebudayaan Jawa. Pokok ceritanya adalah kisah pelarian dari dua putra, dan satu putri dari Sunan Giri III (Giri Parapen) ketika ditaklukkan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1636. Putra pertamanya bernama Jayengresmi diiringi dua santri Gathak dan Gathuk. Berpisah dengan dua adiknya, Jayengsari dan Niken Rancangkapti, diiringi oleh santri Buras.
Kisah perjalanan melarikan diri dari kejaran prajurit Sultan Agung ini yang direkam dalam cerita perjalanan dengan menemukan banyak peristiwa pertemuan dengan berbagai tokoh di seluruh Jawa yang menceritakan berbagai cerita, legenda, adat istiadat dan berbagai ilmu lahir dan bathin.
Kisah ini juga diisi dengan kisah perjalanan Mas Cebolang seorang santri yang nantinya akan menjadi suami Niken Rancangkapti dan berganti nama jadi Sech Agungrimang. Sebagai anak-anak Sunan Giri Parapen yang adalah tokoh terkemuka penyebaran agama Islam di Jawa, sudah barang tentu kisah perjalanannya juga dalam rangka mencari kesempurnaan hidup sebagai seorang Muslim. Harus diingat bahwa Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam Jawa yang sudah melalui proses sinkretisasi yang lebih cenderung pada tasauf dalam pencarian hakekat untuk pencapain makrifat.
Serat Centhini mendapat pujian dari Denys Lombart – orientalis asal Perancis - pengarang buku Le Carrefour Javanais dalam bahasa Perancis yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nusa Jawa Silang Budaya, mengatakan dalam bukunya sebagai berikut:
Walaupun teks itu sering dianggap salah satu karya agung kesusastraan Jawa, baru sebagian saja yang sudah di terbitkan dan meskipun Serat Centhini mungkin bisa merupakan salah satu karya agung kesusatran dunia, untuk sementara yang terdapat hanyalah sebuah ichtisar pendek dalam bahasa Belanda dan satu lagi dalam bahasa Indonesia.
Salah satu versi yang masih tersimpan, tidak kurang dari 722 pupuh panjangnya, terbagai atas dua belas bagian besar (Note: duabelas jilid). Setiap pupuh terdiri dari bait-bait yang jumlahnya tidak tetap, antara 20 dan 70 buah, semuanya disusun menurut tembang tertentu (Note: Macapat), yang memberikan kepada pupuh itu baik konsistensinya maupun warna nadanya. Tergantung dari tembangnya, bait dapat terdiri dari 4 sampai 9 larik, dan setiap larik mengandung sejumlah tertentu kaki matra dan rima tertentu. Belum ada yang menghitung jumlah bait dalam Serat Centhini, tetapi seperti diihat, jika setiap pupuh mengandung rata-rata 40 bait dan setiap bait 7 larik, maka diperoleh 200.000 larik lebih. Hendaknya diingat bahwa wiracerita-wiracerita Yunani karangan Homeros: Iliad dan Odyssey masing-masing hanya mengandung 15,537 dan 12.363 larik.
Komentar tersebut diatas menandakan bahwa Serat Centhini adalah salah satu hasil kesusastraan Jawa yang tak ternilai harganya. Bisa diakui sebagai salah satu kesusastraan klasik dunia. Tapi sangat sungguh ironis, buku yang menarik para budayawan dunia untuk mendalaminya, tidak begitu dikenal oleh bangsanya sendiri. Ringkasan yang akan saya buat setiap jilid satu sesi (artikel) ini adalah salah satu usaha untuk memperkenalkan Serat Centhini kepada masyarakat bangsa Indonesia.


Serat Centhini - Jilid 1
1. Badad Giri (1487 - 1636)
Seh Wali Lanang dari Jeddah tiba di pelabuhan Gresik pada masa kerajaan Majapahit, menikah
dengan Putri dari kerajaan Belambangan yang berhasil disembuhkan ketika menderita sakit.
Karena Raja Belambangan tidak mau masuk Islam, Seh Wali Lanang meninggalkan Belambangan pergi ke Malaka. Istrinya sudah mengandung kemudian melahirkan bayi laki-laki. Bayi dimasukkan ke-kendaga dibuang ke laut, ditemukan Nyi Semboja yang sedang berlayar, diangkat anak diberi nama Santri Giri.
Santri Giri belajar agama Islam kepada Sunan Ngampel, berteman baik dengan Bonang, anak Sunan Ngampel. Setelah dewasa Santri Giri dan Santri Bonang mau pergi naik haji, mampir di Malaka ketemu Seh Wali Lanang, disuruh pulang lagi. Santri Giri diberi nama Prabu Setmata dan Santri Bonang diberi nama Prabu Anyakrawati. Kemudian Prabu Setmata menjadi raja di Giri.
Ketika Sunan Giri jadi raja di Giri, Majapahit menyerang Giri karena tidak senang adanya kerajaan Islam. Sunan Giri sedang menulis dengan kalam, kalam tersebut dilempar berubah jadi tombak yang mengamuk ke barisan tentara Majapahit yang lari kocar-kacir. Tombak diberi nama Kalam Munyeng.
Sunan Giri meninggal digantikan anaknya Sunan Giri Kedaton, kemudian digantikan cucunya Sunan Giri Parapen. Pada masa Sunan Giri Parapen, Majapahit menyerang lagi dan berhasil menduduki istana tapi saat mau merusak makam Sunan Giri, dari dalam kubur muncul beribu-ribu kumbang yang menyerang tentara Majapahit yang lari kocar-kacir.
Giri ditaklukkan Sultan Agung dari Mataram tahun 1636 karena Sultan Agung tidak mau ada dua raja di tanah Jawa. Sunan Giri Parapen ditawan dan dibawa ke Mataram. Sedangkan anaknya: Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti melarikan diri.
2. Perjalanan Jayengresmi diikuti santri Gathak dan Gathuk.
Rute perjalanan: bekas istana Majapahit, candi Brawu, candi Bajangratu, candi Panataran di Blitar, arca Ki Gaprang di Gaprang, gong Kyai Pradah di hutan Lodhaya, ketemu Ki Carita di Pakel, mata air Sumberbekti di Tuban, sendang Sugihwaras di hutan Bago – Bojonegara, tulang-tulag besar di gunung Phandan, gunung Gambiralaya, ketemu Ki Pandang di Phandangan, sumber api alam di Dhander, sumber minyaktanah di Dandhangngilo, ketemu Ki Jatipitutur di Kesanga, sumber air asin di Kuwu, ketemu Kyai Pariwara di Sela, lihat gunung Merapi di Gubug ketemu Dathuk Bhani, bekas istana Prawata ketemu Ki Darmajati, Mesjid Agung Demak, Jepara, gunung Muria ziarah ke makam Sunan Muria ketemu Buyut Sidhasedya, ketemu Wasi Kawiswara di Panegaran - Pekalongan, gunung Slamet ketemu Seh Sekardelima, gunung Siwal ketemu Wasi Narwita, gunung Cereme ketemu Resi Singunkara, gunung Tampomas ketemu Seh Trenggana, gunung Mandhalawangi ketemu Ajar Suganda, Bogor ketemu Ki Wargapati, membangun pertapaan di gunung Salak. Diangkat anak dan dibawa ke Gunung Karang, Pandeglang, Banten oleh Ki Ageng Karang yang bernama Seh Ibrahim.
Sedangkan cerita, legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang bijak yang menyepi di pedalaman adalah:
Cerita/Legenda: Ular Jaka Nginglung asal muasal air asin Kuwu; Ki Ageng Sela menangkap petir dan pepalinya.
Adat Istiadat: Arti kicau burung dandang & prenjak; Perhitungan hari baik untuk berbagai keperluan; Ukuran pembuatan keris tombak dan bagian-bagian rumah; Penanggalan Jawa menggunakan 30 Wuku; Candrasangkala.
Pengetahuan Spirituil: Serat Nitisruti; Suluk Wali Sanga – cerita tentang Wali Sanga; Waringin Sungsang; Suluk Tapa Lima; Suluk Langit Sapta; Puji Dina; Tanda-tanda kiamat.
3. Perjalanan Jayengrana dan Niken Rangcangkapti diikuti santri Buras.
Rute perjalanan: pesantren Ki Amat Sungeb di Sidacerma, sendang Pasuruan, telaga Gati, Banyubiru, air terjun Baung di gunung Tengger, candi Singasari, sumber Sanggariti di Sisir, candi Tumpang, candi Kidal, Tosari ketemu Buyut Sudarga lihat kawah Bromo dan lautan pasir, ketemu Resi Satmaka di Ngadisari, Klakah ketemu Umbul Sadyana malam hari ke telaga Dago lihat api gunung Lamongan, Kandhangan - Lumajang ketemu Seh Amongbudi, Argapura ketemu Seh Wadat, gunung Rawun ketemu Retna Tan Timbangsih, Nglicin - Banyuwangi lihat candi Selacendhani ketemu Ki Menak Luhung, ketemu Ki Hartati saudagar dari Pekalongan, diangkat anak oleh Ki Hartati dibawa naik perahu ke Pekalongan, diterima dengan senang hati oleh Nyi Hartati, Nyi Hartati meninggal dunia, seribu harinya disusul Ki Hartati juga meninggal, meninggalkan Pekalongan pergi ke gunung Prahu ketemu Ki Gunawan diajak ke pegunungan Dieng melihat sumur Jalathunda, kawah Candradimuka, candi-candi di Dieng, Sokayasa – Banyumas dikaki gunung Bisma, perjalanan diantar oleh Ki Gunawan ketemu Seh Akhadiyat lalu keduanya diangkat anak.
Sedangkan cerita, legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang sempat dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang bijak yang menyepi di pedalaman adalah:
Cerita/Legenda: Cerita tentang Sri – Sadana, asal mula padi; Sifat-sifat tokoh wayang purwo / Mahabarata: Duryudana, Sengkuni, Durna Pendowo Lima, Sri Kresna, Istri-istri Arjuna: Sumbadra, Ulupi, Manuhara, Gandawati, Srikandi.
Adat Istiadat: Cara tradisionil mengobati orang sakit dan ibu setelah melahirkan anak; Arti impian; Perhitungan selamatan orang meninggal.
Pengetahuan Spirituil: Penjelasan agama Hindu – Sambo, Brama, Indra, Wisnu, Bayu dan Kala; Syariat agama Nabi: Adam, Sis, Nuh, Ibrahim, Daud, Musa, Isa, Nabi penutup Nabi Muhammad s.a.w.; Uraian tentang wudlu dan salat; Penjelasan tentang Dzat, Sifat, Nama, dan Keberadaan Allah menggunakan sifat dua puluh; Kadis Markum Baslam tentang empat nafsu: Luamah, Amarah, Supiyah, dan Mutmainah




Resensi Serat Centhini - Jilid 1
Cakupan Serat Centhini adalah sangat luas berkaitan budaya Jawa abad ke16-17 ketika kejadian cerita ini berlangsung. Sebagian
cerita, istiadat, kepercayaan mungkin sudah tidak ada lagi pada masa ini, tapi sebagian besar masih hidup dikalangan masyarakat Jawa terutama di pedesaan.
Tempat-tempat yang dilalui oleh Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti bisa dijadikan referensi arkeologi karena sebagian besar adalah candi-candi dan peninggalan kerajaan Jawa dimasa lalu. Mungkin candi-candi itu masih ada, mungkin sudah tidak ada, yang pasti gunung-gunung dan desa-desa yang dilewati sebagian besar masih ada sampai saat ini dengan nama yang masih sama.
Contohnya ketika Jayengresmi melihat tulang-tulang besar di gunung Phandan ada kemungkinan tulang-tulang besar ini adalah tulang-tulang binatang purba jaman pra-sejarah. Ketika melewati Dandhangngilo (mungkin sekitar Cepu) ada sumber minyak tanah, kemungkinan tempat ini mengandung sumber minyak mentah.
Sedangkan cerita rakyat yang ada di jilid-1 kemungkinan masih hidup sampai saat ini: Cerita ular Jaka Nginglung asal muasal air asin Kuwu, Cerita Ki Ageng Sela menangkap petir dan papalinya, Cerita Sri – Sadana asal mula ada padi, Cerita tokoh-tokoh pewayangaan yang ada di wayang purwo.
Adat istiadat berkaitan dengan penanggalan Jawa, hari-hari baik/buruk, perhitungan selamatan orang meninggal dll. pada umumnya saat ini sudah dikompilasi menjadi buku Primbon. Banyak kalangan masyarakat Jawa walaupun sudah beragama Kristen atau Islam masih menggunakanya. Bahkan saat ini ada yang menawarkan jasa perhitungan berdasarkan primbon Jawa untuk hal-hal tertentu melalui sms operator tilpun seluler.
Sedangkan adat istiadat yang bersifat khusus seperti pembuatan keris, tombak, ukuran berbagai bagian rumah, dan candrasangkala hanya di pelajari oleh para ahli yang berkecimpung dalam bidang tersebut.
Saat ini masih ada empu pembuat keris, tombak, jenis senjata tajam lainnya. Ahli bangunan pembuatan rumah Joglo. Keduanya sudah ada tehnik dan hitungannya sejak ratusan tahun yang lalu.
Candrasangkala adalah sifat-sifat angka 1 s/d 9. Setiap angka bisa dterjemahkan menjadi kata yang tepat sesuai nilai angka tersebut. Biasanya dibuat untuk merangkai kalimat pendek sesuai kejadian tahun tersebut yang perlu diingat oleh pembuat. Contohnya “Paksa suci sabda ji” adalah tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi yaitu saat Serat Centini ditulis. Kemungkinan Serat Centini ini dibuat atas satu (ji – nilainya 1) perintah (sabda – nilainya 7) secara mendesak (paksa – nilainya 2) dengan maksut baik (suci – nilainya 4). Untuk bisa membuat Candrasangkala harus menguasai sifat kata-kata sesuai nilainya dari 1 s/d 9, cukup rumit. Saat ini mungkin hanya kalangan kraton yang masih menguasai ilmu ini.
Sedangkan pengetahuan sprituil, banyak kajian-kajian atau buku-buku yang diterbitkan berkaitan dengan ilmu-ilmu spirituil yang dibicarakan dalam setiap jilid Serat Centini, dikarenakan masyarakat Jawa senang dengan pembahasan tentang “sangkan paraning dumadi” atau “asal-usul kehidupan” dalam bentuk pembicaran tasauf. Banyak juga Serat berupa tembang yang memberi nasehat agar kita menjalani kehidupan yang berbudi luhur. Yang disebut dalam jilid-1 adalah:
1. Serat Nitisruti adalah karangan Pangeran Karanggayam dari Pajang, yang selesai ditulis pada tahun 1612. Berisi nasehat agar berbudi luhur dan mengambarkan tingkahlaku yang tergolong nista-madya-utama.
2. Waringin Sunsang adalah cerita simbol asal usul kehidupan dan jalan kematian. Pada saat roh yang berasal dari Allah SWT. turun memberi hidup pada manusia adalah mudah, tapi waktu mau kembali lagi sulit seperti beringin yang terbalik - waringin sungsang. Beban perbuatan selama hidup akibat nafsu-nafsu yang mempengaruhi manusia, menjadi hambatan untuk roh kembali ke akar kehidupan yang mengarah keatas. Kecuali dengan usaha yang tidak kenal lelah fokus pada keseimbangan menuju ke akar kehidupan yaitu pengabdian kepada Allah SWT.
3. Empat cara bertapa atau empat cara tirakat (tarekat/laku/tingkah laku):
- Anarima, menerima kasih sayang Allah SWT, menerima apapun yang terjadi sesuai dengan takdir Ilahi.
- Geniira, menghindari diri dari rasa amarah.
- Banyuira, pandai menyesuaikan diri seperti aliran air.
- Ngluwat, memendam semua hal yang membanggakan diri agar tidak menganggap diriya paling benar. Bersikap andap asor.
4. Langit Sapta (Langit Tujuh) adalah tingkatan roh menuju kesempurnaan: roh jasmani, roh nabati, roh napsani, roh rohani, roh nurani, roh rabani, roh kapi.
5. Sifat rong puluh atau sifat dua puluh adalah usaha penghayatan akan Dzat, Sifat, Asma dan Afngal Allah SWT (kemungkinan besar ini adalah sinkretisasi atau adaptasi dari Asma Al-Husna):
a. Napsiyah (Dzat): Wujud (Pasti Adanya)
b. Salbiyah (Sifat): Kidam (Maha Awal), Baka (Maha Abadi), Mukalapah lil kawadis (Maha Luhur), Wal kiyamu binaphisi (Mengadakan Diri Sendiri), Wahdaniyat (Maha Esa).
c. Manganiyah (Asma): Kodrat (Maha Kuasa), Iradat (Maha Pencipta), Ngelmu (Maha Pandai), Kayat (Maha Hidup), Samak (Maha Tahu), Basar (Maha Waspada), Kalam (Maha Wicara),
d. Maknawiyah (Afngal): Kadiran (Yang Maha Menguasai), Muridan (Yang Maha Mencipta), Ngalimun (Yang Maha Menguasai Ilmu), Kayat (Yang Maha Menghidupi), Samingun (Yang Maha Mengetahui), Basiran (Yang Maha Melihat), Muakalimun (Yang Maha Pembicara).
Kesimpulannya pada abad 16 – 17 di pedalaman Jawa banyak para bijak hidup menyepi yang menguasai berbagai disiplin ilmu sebagai kekayaan beragam budaya baik budaya asli yang berumur sangat tua maupun budaya akibat penyebaran agama Hindu, Budha, dan Islam. Satu sama lain hidup berdampingan tanpa saling mengganggu. Barangkali saat ini juga masih begitu kalau kita berbicara masyarakat di pedesaan yang masih lekat dengan budaya masa lalu dan tidak terlalu bersinggungan dengan pengaruh budaya B



Serat Centhini - Jilid 2
Serat Centhini Jilid-2 berisi 87 pupuh dari pupuh 88 s/d 174, berisi perjalanan Mas Cebolang (diikuti santri: Palakarti,
Kartipala, Saloka, Nurwiti) anak Seh Akadiyat dari Sokayasa, Banyumas. Seh Ahkadiyat pada akhir Jilid-1 diceritakan mengangkat anak Jayengrana dan Niken Rangcangkapti.
Rute perjalanan: meninggalkan Sokayasa, sampai di makam Dhukuh ketemu Ki Demang Srana lalu diantar ke makam Seh Jambukarang di gunung Lawet, pancuran Surawana yang bermata air di Muncar ketemu Ki Dati, bendungan Pancasan di Banyumas, naik rakit sungai Serayu, berhenti di Arjabinangun ketemu Ajar Naraddhi, lihat gua Limusbuntu, lihat gua Selaphetak yang berbentuk pendapa rumah, sampai di Segara Anakan, naik perahu menuju Karangbolong, di Ujung Alang gunung Ciwiring bisa kelihatan pulau Bandhung tempat bunga Wijayakusuma yang dijaga burung Bayan, di Jumprit lihat mata air sungai Praga di gunung Sindara ketemu Ki Gupita, gunung Margawati di Kedu ketemu Ki Lehdaswaninda, gunung Sumbing di sendang Bedhaya ketemu dhanyang Ki Candhikyuda dan istrinya Nyi Ratamsari, lihat mata air Pikatan, sampai di Ambarawa di gunung Jambu siarah makam Prabu Brawijaya dari Majapahit, suasana jadi gelap karena hujan abu dari letusan gunung Merapi, berjalan dalam gelap sampai di gunung Tidhar ketemu Seh Wakidiyat, lihat candi Borobudur, lihat candi Mendut, sampai di Mataram pada masa Sultan Agung, tinggal di Kauman tempatnya modin istana Ki Amat Tengara, siarah makam Panembahan Senapati di belakang Mesjid Agung, ketemu dengan banyak orang dengan berbagai keahlian: Ki Amongtrustho ahli ulah asmara, Empu Ki Anom ahli pembuatan keris, Ki Bawaraga ahli gending dan gamelan, Ki Madiaswa ahli tentang hal-ihwal kuda, Ki Pujangkara ahli perhitungan hari dan berbagai pertanda alam, jagal Nyai Cundhamundhing ahli hal-ihwal nama daging bagian-bagian dari kerbau, Nyai Padmasastra ahli batik tulis, Nyai Sriyatna ahli sajen untuk pengantin, Nyai Lurah Kraton ahli ha-ihwal pengantin, modin Ki Goniyah juga ahli hal-ihwal pengantin, Kyai Amat Kategan memberi penjelasan beberapa hal tentang agama Islam, Ki Rasiku jurukunci makam Glagaharum di Demak menjelaskan cerita Sunan Kalijaga ketemu Puntadewa, Ki Harjana santri dari Jatisari ahli perhitungan hari, Ki Amat Setama cerita tentang Raja Istambul, Ki Wirengsuwigna ahli berbagai tarian, Ki Demang Basman ahli perhitungan pembuatan rumah, Kyai Sumbaga ahli pembuatan wayang kulit, Ki Toha menjelaskan tentang mandi Rebo-an, Ki Sopana ahli huruf-huruf kuno, Nyai Atikah bercerita tentang Ni Kasanah yang berbakti sama suami , Ki Narataka jurukunci meriam pusaka kraton, Ki Candhilaras juru dongeng dan tembang..
Pada Jilid 2 ini Serat Centhini lebih banyak mencerikan Mas Cebolang ketemu banyak orang di sekitar istana Mataram bercerita tentang legenda, adat istiadat dan ilmu yang mereka punyai sesuai keahlian mereka masing-masing.
Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang tersebut adalah:
Cerita/Legenda: Sri Kresna dengan bunga Wijayakusuma; Permaisuri Raja Bagdad dan perdana mentrinya; Sunan Kalijaga ketemu Puntadewa raja Amarta; Raja Istambul yang hafal Al-Qur’an; Cerita tentang asal muasal bahasa dan huruf tatkala membangun menara Bibel; Ni Kasanah yang berbakti sama suaminya Suhul; Siti Aklimah yang dituduh serong pada jaman Rasul; Nabi Sulaiman mencoba kesetiaan cinta kasih antara Dara Murtasyah dengan Sayid Ngarip; Cerita wayang lakon Partadewa, Patih Satama dan Nyai Satami yang berubah jadi meriam di kerajaan Galuh;
Adat Istiadat: Perilaku asmara enam macam; Aturan berkenan dengan nikah, cerai, idah, rujuk, rukun, khuluk, dan maskawin; Keterangan tentang delapan belas wanita yang tidak boleh diperistri; Uraian tentang muhrim wali; Uraian tentang cerai tanpa talak, rapak, syarat nikah, doa nikah, tata-tertib nikah; Perihal ulah asmara, pembuka pembangkit rasa maupun penahan rasa; Hal-ihwal nama dan macam-macam bagian daging kerbau; Hal ihwal keris, bentuk keris, bagian keris, macam ragam bentuk keris lurus dan keris berluk, tentang keris berluk: 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, bentuk mata tombak lurus dan berluk; Seluk beluk gending dan gamelan; Hal ihwal berkenaan dengan kuda, cara mengendarai kuda, mencemeti kuda, menjinakkan kuda, bentuk dan warna kulit berkaitan dengan watak kuda; Perhitungan hari memperbaikai rumah, hari pasaran bayi, arti tanda-tanda gejala alam seperti gerhana, lintang kemukus, gempa bumi; Hal-ihwal dengan berbagai kain batik tulis, lukisan kain yang menjadi pantangan dan pantangan-pantangan dalam membuat batik lukis; Uraian sajian buat acara pengantin; Tata cara pengantin, lamaran, peningset, bubak kawah (bermenantu anak sulung), tumplak punjen (bermenantu anak bungsu), midodareni, upacara temu pengantin, kelengkapan pakaian pengantin; Perhitungan menoreh orang sakit; Macam ragam tari wireng dan asal mula tari bedhaya-serimpi; Bermacam-macam wayang (wayang gedhog, wayang klitik, wayang golek, wayang topeng), Mandi Rebo-wekasan (hari Rebo terakhir dalam bulan Sapar); Ruwatan Murwakala.
Pengetahuan Spirituil: Penjelasan tentang turunnya Lailul-kadar; Kisah Nabi Kidir dan Nabi Musa; Pahala orang yang hafal Al-Qur’an apalagi kalau mengerti artinya; Penjelasan tentang puasa sunah.

Bersambung.................

0 komentar:

Posting Komentar

untuk teman-teman yg belum punya web or blog pada bagian kolom "BERI KOMENTAR SEBAGAI" : pilih Name / URL, Kolom nama di isi sesuai nama anda dan pada kolom URL kosongkan saja, demikianlah & terima kasih atas partisifasinya

KONSENSUS

OPINI

  • Kaca Benggala: Sumpah Palapa - Oleh: Agus Jabo Priyono*) Ibarat pepatah, sebagai sebuah bangsa kita sedang berlayar dengan perahu besar, melawan gelombang liar. Dikurung langit yang tla...
    14 tahun yang lalu

ARSIP

BERANDA