Kamis, 03 Desember 2009

Teruskan Mengalir Jangan Menoleh Lagi


Politiksaman.com-Sastra (29/11), sastra berupa surat dengan judul Teruskan Mengalir Jangan Menoleh Lagi ini mencoba memberikan sebuah pemaham sederhana tentang resahnya seorang wartawan muda yang meminta seorang guru perempuan yang dikaguminya menjelaskan tentang sejarah kaumnya yang menurut pemuda itu amat merisaukan, karena perempuan saat ini tidak mengenal jatidirnya dan sejarah kaumnya. Agar mudah dicerna, tentang gejala social yang ada disekitar kita maka penulis mencoba mengunakan metode penulisan sastra seperti surat, seperti juga pernah dilakukan Pramoedya Ananta Toer dalam karanganya Hokikau. Semua tokoh dalam tulisan ini adalah fiktif. Dan surat ini adalah sastra yang ingin disampaikan kepada semua yang membacanya. Selamat membaca dan edisi Sastra Surat ini akan dikemas melalui beberapa seri detiap minggunya. Dan bagi yang membaca dan ingin membalasnya menjadi seolah orang yang ditujuh oleh karangan sastra ini dapat dikirim ke E-Mail : Edos87@yahoo.com atau Face Book : Edos Saman.


Teruskan Mengalir Jangan Menoleh Lagi

Adinda yang baik,
Kira-kira apa reaksimu membaca suratku ini adinda, surat yang pertama, dan mungkin yang paling narsis bagimu. Tapi aku yakin kau tak mungkin menganggap seperti itu, karena kau sosok perempuan yang anggun dan berwawasan luas dengan segala aktivitas pendidikanmu. Aku hanya ingin melihat senyummu, amat disayangkan ketika kau membaca surat ini aku tak dapat melihat temaran merah pipimu. Saat kutulis surat ini mahasiswa dan tokoh muda seluruh Indonesia lagi mencari keadilan sama seperti keluhmu, kasus Bank Century, kasus Prita dan korupsi lainnya.

Ketika aku menulis surat ini, kau tau aku dimana adinda ?, aku duduk diberanda depan saat pertama kali kau datang ketempatku dan berdebat tentang sebuah kewajiban seorang guru dan pegawai menurut cara pendangmu. Aku masih membayangkan keluhmu tentang tenaga honorer dan guru-guru didaerah terpencil yang tidak mendapatkan jaminan tentang masa depan dan ekonominya. Namun kau tau yang membuatku tersentak…..? ketika kau begitu fasih menjabarkan tentang hubungan kaum guru dan tenaga terdidik dengan system Neoliberalisme yang diterapkan oleh Negara kita.

Aku tak menyangka dibalik baju blazer yang anggun itu ada sebuah pemahaman yang dalam tentang Negara ini, wajar tentunya banyak lelaki tergila-gila padamu adinda. Pernyataanmu tentang sogokkan social seperti BLT, kompensasi BBM dan pengangkatan Honor adalah bentuk kompromi yang meracuni pikiran masyarakat umum tentang watak pemimpin negeri ini yang bersembunyi bak teori Marchiavellian yang fanatic. Disisi lain melakukan penghancuran seluruh sendi-sendi ekonomi dan menghancurkan usaha borjuasi nasional dan local, disisi lain pemerintah seolah moralis dan baik hati dengan menaikkan gaji PNS, menganggkat Honorer dan memberikan BLT sebagai ganti subsidi BBM. Begitu brilian dan mempesona bagiku adinda, pertemuan pertama yang berat secara intlektual dan mengagumkan secara social, karena tak banyak perempuan sepertimu.

Adinda yang cantik,
Apakah tulisan-tulisanmu masih dihargai murah seperti dulu ? dimana kau pernah bercerita didunia maya, bagaimana sebuah kerja Intlektual amat murah harganya dinegeri ini, cerpenmu tentang Perempuan perkasa pengangkut batu Cuma dihargai Rp. 25 ribu oleh salah satu media yang memuat tulisanmu. Namun kau tak menyerah meski Cuma cukup untuk membayar rental computer dan cemilan dari uang honor menulis itu, tapi menurutku kau berhasil mendidik dirimu untuk terus mengembangkan kekayaan intlektualmu. Ini itu dulu bukan, sebuah romatika dirimu bertahan hidup di kota pempek untuk menyelesaikan syarat melangkah ketangga berikutnya dalam mengapai tujuan hidup. Seperti pesanmu padaku bahwa, hidup itu tujuan adalah sejahtera yang artinya tercukupi sandang, papan, pangan dan spiritual. Bukan bahagia seperti jawabku atau kaya menurut temanmu itu. Aku ingat itu kala kau memberiku wejangan mengatakan apakah kau tak bahagia menatap mataku dan dada kala kita berdiskusi ini ?, jika itu tujuanmu, maka begitu singkat hidup dan perjuanganmu kawan. Kau tau aku tersentak, bukan karena aku kedapatan memandangi dan menikmati cantik dan pesonamu, namun kata-kata itu seolah aku tak yakin keluar dari gadis se-muda dan se-cantikmu adinda.

Namun mungkin itulah pesonamu, andai ada 500 orang perempuan dari 2000 pengangguran yang diproduksi oleh Kota ini setiap tahunnya betapa hebatnya Kota ini, bahkan Negara ini adinda. Seperti katamu, semua pengetahuan dan kekayaan intlektual untuk ditranspormasikan bukan untuk dinikmati sendiri sebagai alasan keangkuhan. Karena katamu yang pintar biasanya dinegara miskin dan keterbelakangan IPTEK dan intlektual seperti kotaku yang pembangunan fasilitasnya amat memilukan, kepintaraan sering digunakan untuk memanipulasi dan menghisap kaum lemah. Aku sepakat tentang itu, karena itulah harus dimassalkan dengan organisasi yang jalankan saat ini, meski kecil namun memiliki daya intervensi yang kuat. Menggutip ucapanmu adinda, kualitas terkadang lebih hebat daya ledaknya ketimbang kuantitas yang rame Cuma memenuhi ruang gudang…ha…haa analogi yang liar menurutku.

Adinda sayang,
Kurasa cukup romantisme kita tentunya, ada sebuah hal yang ingin kudiskusikan padamu, meski ini membutuhkan waktu bagimu untuk membalasnya. Menurutmu apakah banyak perempuan memahami sejarah kaumnya sendiri, dan adakah kau memahami sejarah kaum mu adinda ? sebelum keperkasaan Cleopatra menaklukan Julius Caesar sang Kaisar Roma dengan kemolekan, keanggunan dan kecerdasannya dalam bernegosiasi politik, bukan juga tentang sejarah Alexandra Kolontai sang menteri Wanita Pertama didunia yang diangkat hasil dari Revolusi Rusia, namun jauh sebelum itu. Sebelum perempuan mengerti dan memahami takdirnya untuk bersolek dan mempercantik diri sebagai bagian dari kodrat perempuan. Bukan pula sejarah tentang lulur, mandi susu atau mandi ramuan bunga dan pembuatan farpum bermutu yang ditinggalkan Cleopatra, namun ketika kaummu memimpin pada zaman matriakal.

Aku hanya berharap kelak kau dapat memahami tentang sejarah kaummu, dan tentunya adalah tentang dirimu. Sebab mengenali diri sendiri dan ancaman dari luar adalah sebuah kebijakah, bak kata Sun Tzu mengenali dirimu, dan kenali lawanmu maka separuh kemenangan adalah miliku.
Bukankah kau pernah mencecarku dengan pertanyaan yang kurasa tak mampu kujawab dengan sempurna sebuah analogi sederhana darimu, mengapa perempuan begitu sensitive, peka dan pecemburu sebagai ekses dari rasa ingin disayangi dan menyayangi hingga terkadang posesif meski tak semua. Hal ini yang perlu kita kaji dalam sisi sosiologi dan psikologis kaummu yang tentunya tidak berdiri sendiri adinda, semuanya ada sebab dan akibat. Nah cubo kita runutkan hal itu.

Adinda cantik,
Bukan maksud hati merusak indah sinar wajahmu, yang mungkin berkerut dengan paparan dan ajakanku. Aku tau mungkin ini berat, atau mungkin membingungkan atau yang lebih buruk selama ini kau apatis dengan sejarah kaummu dan nenek moyangmu. Tapi aku yakin, kau bukan perempuan seperti itu adinda, aku yakin itu. Karena kau yang mengajariku untuk terus mengalis dan jangan menolek. Karena menolek sama halnya menyesali apa yang kita perbuat, padahal semuanya adalah tapak sejarah yang didapat dari pergulatan panjang pertentangan diri kita, kawan, masyarakat dan ideology yang kita fahami.

Kalau boleh aku bertanya dan jujur kau begitu mempesona ketika kau mengunakan gaun terusan berwarna merah hati itu adinda, dan dimana kau dapatkan cara mempersolek dirimu hingga kau begitu sempurna dimata ku. Bukan pendapat subjektif adinda, namun semua orang beranggapan seperti itu, kecerdasanmu, kemampuanmu menguraikan semua permasalah dengan contoh-contoh dan kata-kata yang tertata membuat semua orang yang mengobrol denganmu terhipnotis dan bersimpati, kurasa Cleopatra akan marah denganmu jika ia masih hidup, bangir hidungmu, gelombang rambut hitam dan bulat matamu dengan tinggi semampai tentunya membuat semua orang berharap bisa mendekatimu meski sekedar mengenal namamu adinda. Seperti aku yang terkadang cemburu menatap gerak bahasa tubuh lawan bicaramu, kala aku menyambangimu di Kota Metropolitan Palembang yang hampir matang kapitalismenya itu.

Adinda yang anggun,
Kurasa cukup sementara suratku, meski mungkin sedikit otodidak tak seindah bahasa-bahasamu ketika menulis puisi atau sesemangat roh tulisanmu dicerpen dan statement pribadimu tentang hidup dan pandangan politik. Kurasa semua yang ingin ku utarakan telah tertuang disurat ini. Maaf aku telah membuatmu berpikir keras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku dalam surat ini. Namun bukankah kau yang mengajariku tentang realitas hidup yang harus mencoba mencari sebuah kebenaran hakiki tentang semua kondisi social yang ada. Kenapa aku menanyakan tentang sejarah perempuan kepadamu, karena kau adalah perempuan dan tentunya tugasmu mengkampanyekan keperkasaan kaummu, meski tak perlu didramatisir seperti sinetron yang sering ditonton oleh kaummu yang mengajari tentang kongsi jahat mertua, saingan cinta atau berebut harta, amat naïf bukan ?.

ika kau tanya bagaimana kondisi negeriku adinda, jawabku adalah disini sedang terjadi pertarungan borjuis lokal yang akut, kita memang memberikan support untuk mereka yang maju, yang berani berkata lantang meminta nasionalisasi Migas dan perjanjian ulang tentag perkebunan yang ada dinegeri ini. pasukan kita telah berjuang beberapa hari lalu dan membuat borjuis lokal kalang kabut dengan menunda penetapan legislatif didaerahku, bahkan besoknya adalah sejarah baru yang muncul dari ekses perjuangan kaum muda. belum ada di Indonesia Rapat paripurna mengunakan Asbak rokok sebagai palu dan dewan seperti maling membongkar kunci ruang rapat. inilah Negeri kami yang kau katakan unik dan memang nenek moyang kami pun tak terjajah baik oleh Sriwijaya maupun lainnya sehingga Sindang nama lain dari negeri merdeka lekat didalam pengakuan adat kami.

Aku begitu ingin menulis lebih sempurna dalam surat ini, agar setidaknya aku dapat mengimbangi kecantikanmu. Namun hari telah larut dan aku harus kerja esok hari adinda, meski hanya mendapat satu berita atau uang recehan setidaknya aku tak menjual keyakinanku untuk terus mengalir dan tidak menoleh untuk menatap masa depan. Seperti pada tulisan yang kuselipkan didiare-mu bahwa Tujuan HiduP sejahtera memerlukan syarat kerja, dan kerja memerlukan sertifikat ijazah dan untuk itu harus sekolah, lalu bagaimana kalau sekolah mahal ?. tak perlu kau jawab Karen aku yakin kau telah menulis ini berulangkali dalam catatanmu atau tulisanmu. Sampai disini dulu wahai perempuan yang baik, semoga aku menjadi teman diskusimu yang baik juga. Pesanku jangan kalah dengan budaya feudal tentang kontradiksi budaya yang menuntutmu untuk menikah tak dibilang gadis tua. Teruslah mengalir, dan jangan menoleh diusiamu saat ini didunia pergerakan merupakan saatnya kapitalisme dan borjuis terkagum-kagum padamu, bukan karena molek dan sempurna fisikmu. Namun karena radikalnya keyakinan intlektualmu. Biar mereka mengatupkan mulutnya, melihat bidadari yang turun kejalan berjuang bersama kaumnya dan rakyat tertindas. Bukan menjadi etalase borjuis yang selalu memamfaatkan kecantikan dan kemolekan perempuan untuk menaikkan penjualan produk mereka.

Doa-ku bersama pesona dan semangat perjuanganmu untuk merubah system penindasan dalam dunia pendidikan. Salam untuk jiwamu yang terusik oleh carut-marut penghisapan dan ketidakadilan hokum terhadap kaummu. Satu kata jangan Menoleh…….aku tunggu balasanmu adinda yang baik.

Dari pria yang terpesona oleh semangatmu wahai perempuan perkasa
Ulak Lebar, bulan Hijrah dimalam yang penuh dengan suara walet.
Saman

0 komentar:

Posting Komentar

untuk teman-teman yg belum punya web or blog pada bagian kolom "BERI KOMENTAR SEBAGAI" : pilih Name / URL, Kolom nama di isi sesuai nama anda dan pada kolom URL kosongkan saja, demikianlah & terima kasih atas partisifasinya

KONSENSUS

OPINI

  • Kaca Benggala: Sumpah Palapa - Oleh: Agus Jabo Priyono*) Ibarat pepatah, sebagai sebuah bangsa kita sedang berlayar dengan perahu besar, melawan gelombang liar. Dikurung langit yang tla...
    14 tahun yang lalu

ARSIP

BERANDA